Selasa, 13 September 2016

MAKALAH FILARIASIS

Kata pengantar
بِسْـــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kemudahan bagi kami sebagai penyusun untuk dapat menyelesaikan tugas ini . Makalah ini merupakan tugas yang berjudul “Filariasis “ yang mana dengan tugas ini kami kelompok 2 dapat mengetahui lebih jauh tentang filariasis,yakni pengertian filarisis,proses terjadinya penyakit,penyebab terjadinya penyakit,cara penularan,pencegahan,dan pengobatan penyakit filariasis. Mengenai lebih lanjut kami akan memaparkan dalam bagian pembahasan makalah ini.
            Dengan harapan makalah ini dapat bermanfaat,maka kami sebagai penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua anggota kelompok yang telah membantu meyelesaikan makalah ini.


                                                                        Baranti, 18 April 2015

                                                                                       Kelompok 2


Daftar isi
Kata pengantar..........................................................................................................i
Daftar isi...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A.latar belakang.......................................................................................................1
B.Rumusan masalah.................................................................................................2
C.Tujuan...................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................4
A.Definisi.................................................................................................................4
B.Etiologi.................................................................................................................6
C.Patofisiologi........................................................................................................10
D.Manifestasi klinik...............................................................................................15
E.Cara penularan....................................................................................................15
F.Pencegahan.........................................................................................................15
G.pengobatan.........................................................................................................16
H.Penyakit kaki gajah di Indonesia........................................................................21
BAB III PENUTUP...............................................................................................25
A.Kesimpulan.........................................................................................................25
B.Saran...................................................................................................................25

Daftar pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Filariasis (penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk. Di Indonesia, vektor penular filariasis hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres.Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin. Filariasis merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya sempat ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali. Kasus penderita filariasis khas ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan tropis (Abercrombie et al, 1997) seperti di Indonesia. Filariasis pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1877, setelah itu tidak muncul dan sekarang muncul kembali. Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Propinsi di Indonesia. Berdasarkan laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233orang.Untuk memberantas filariasis sampai tuntas, WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year 2020) yaitu program pengeliminasian filariasis secara masal. Program ini dilaksanakan melalui pengobatan masal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis untuk mencegah kecacatan. WHO sendiri telah menyatakan filariasis sebagai urutan kedua penyebab cacat permanen di dunia. Di Indonesia sendiri, telah melaksanakan eliminasi filariasis secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 Kabupaten percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahunnya. Upaya pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata. Masyarakat juga harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif. Dengan mengetahui mekanisme penyebaran filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan serta rehabilitasinya, diharapkan program Indonesia Sehat Tahun 2010 dapat terwujud salah satunya adalah terbebas dari endemi filariasis.
B.     Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik suatu rumusan masalah antara lain sebagai berikut.
1.      Apa pengertian filariasis ?
2.      Apa penyebab penyakit filariasis ?
3.      Bagaimana proses terjadinya filariasis ?
4.      Apa tanda dan gejala orang yang mengalami filariasis ?
5.      Bagaimana cara penularan penyakit filariasis ?
6.      Bagaimana cara pencegahan penyakit filariasis ?
7.      Bagaimana cara pengobatan penyakit filariasis
C.     Tujuan
Adapun tujuan penyusunan makalah ini adalah mengacu pada rumusan masalah  di atas sebagai berikut.
1.      Untuk mengetahui pengertian Filariasis
2.      Untuk mengetahui penyebab penyakit filariasis
3.      Untuk mengetahui proses terjadinya filariasis
4.      Untuk mengetahui tanda dan gejala filariasis
5.      Untuk mengetahui cara penularan filariasis
6.      Untuk mengetahui cara pencegahan filariasis
7.      Untuk mengetahui cara pengobatan filariasis


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi
            Penyakit kaki gajah / filariasis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filarial yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk.Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila tidak mendapatkan pengobatan akan mengakibatkan cacat menetap berupa pembesaran kaki,alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.
            Penyakit kaki gajah ini umumnya terdeteksi melalui pemeriksaan mikrokopis darah.Sampai saat ini hal tesebut masih ini dirasakan karna microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri didalam darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal periodicity).
            Selain itu berbagai metode pemeriksaan juga dilakukan  untuk mendiagnosa penyakit kaki gajah diantaranya ialah dengan yang dikenal sebagai penjaringan membrane, metode konsentrasi knott dan teknik pengendapan.Metode pemeriksaan yang lebih mendekati kearah diagnosa dan diakui oleh pihak WHO adalah dengan jalan pemeriksaan sistem “Tes kartu”, hal ini sangatlah sederhana dan peka untuk mendeteksi penyebaran parasit (Larva),yaitu dengn cara mengambil sample darah dengan system tusukan jari droplets diwaktu kapanpun, tidak harus di malam hari.
            Di Indonesia, vektor penular filariasis hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres. Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga spesies filaria yang menimbulkan infeksi pada manusia adalah  Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori (Elmer R. Noble & Glenn A. Noble, 1989). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk, memiliki stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak dari cacing dewasa disebut mikrofilaria.
A                    B                           C
            Mikrofilaria Wuchereria bancrofti (A), Brugia malayi (B), dan Brugia          timori (C).
Filariasis dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin. Hospes cacing filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia. Manusia yang mengandung parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya laki-laki lebih dmudah terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan mendapat infeksi (exposure). Hospes reservoar adalah hewan yang dapat menjadi hospes bagi cacing filaria, misalnya Brugia malayi yang dapat hidup pada kucing,kera,kuda,dan,sapi.
            Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ditularkan oleh Culex quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat perindukannya.
B.     Etiologi
            Dalam musim hujan biasanya nyamuk dapat berkembang biak dengan sangat cepat. Banyak sekali penyakit yang dapat ditularkan oleh hewan kecil yang satu ini. Salah satunya penyakit kaki gajah (filariasis). Penyakit disebabkan oleh cacing (wuchereria Bancrofi). Cacing ini dapat ditularkan melalui berbagai gigitan nyamuk kecuali nyamuk mansoni.
             Penyakit ini bersifat menahun (Kronis) dan apabila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembengkakan kaki, lengan dan alat kelamin baik pada pria maupun wanita. Akibatnya, penderita penyakit kaki gajah tidak dapat bekerja secara optimal, bahkan hidupnya harus selalu tergantung pada orang lain.
1.            Siklus Hidup Cacing Filaria
               Siklus hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk tersebut menggit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis, sehingga mikro filaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam  tubuh nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam tubuh nyamuk, kemudian menembus dinding lambung dan bersarang diantara otot – otot dada (Toraksi).
               Bentuk mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang yang disebut larva stadiun II. Pada hari kesepuluh dan seterusnya larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga menjadi lebih panjang dan kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat aktif, sehingga larva mulai bermigrasi mula – mula ke rongga perut (Abdomen) kemudian pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk.
            Apabila nyamuk mikrofilaria ini menggigit manuisa maka mikrofilaria yang sudah berbentuk larva infektif (Larva stadium III) secara aktif ikut masuk kedalam tubuh manusia (Hospes),bersama – sama dengan aliran darah dalam tubuh manusia.Larva keluar dari pembuluh darah dan masuk  ke pembuluh limfe. Didalam pembuluh limfe larva mengalamidua kali pergantian kulit dan tumbuh menjadi dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva  stadium V. Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe, sehingga akan menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan. Cacing filaria sendiri memiliki ciri sebagai berikut :
Cacing dewasa (makrofilaria) berbentuk seperti benang berwarna putih kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (kirofilaria berbentuk seperti benang berwarna putih susu..
Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih 65-100mm dan ekornya lurus berujung tumpul. Untuk makro filaria yang jantan memiliki panjang kurang lebih 40mm dan ekor melingkar.Sedangkan mikrofilaria memilki panjang kurang labih 250 mikron, bersarung pucat. Tempat hidup makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe. Tetapi pada malam hari mikrofilaria terdapat didalam darah tepi sedangkan pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat- alat dalam seperti paru- paru, jantung, dan hati.
2.            Diagnosis
               Praktis Gold Standard untuk sebagian besar penyakit akibat infeksi parasit ialah menemukan parasit tersebut baik dalam keadaan hidup ataupun mati. Dalam kasus filariasis, parasit berupa cacing dewasa hampir tidak mungkin ditemukan secara utuh karena terletak di dalam pembuluh limfe yang dalam dan berkelok-kelok. Karenanya diagnosis filariasis ditegakkan dengan penemuan mikrofilaria di darah tepi.
               Selain di darah tepi, mikrofilaria dapat pula ditemukan di cairan hidrokel, atau kadang-kadang di cairan tubuh lainnya. Cairan ini dapat diperiksa secara mikroskopis secara langsung atau disaring dulu konsentrasi parasit sudah mampu melewati filter pori silindris polikarbonat (ukuran pori sekitar 3 µm). Bisa juga cairan disentrifugasi dengan 2% formalin (teknik Knott) baru kemudian dapat dideteksi parasit mikrofilaria secara spesifik dan sensitif.
               Yang tak boleh lupa ketika mengamati parasit ini, sediaan mesti diambil menurut perkiraan periodisitas sesuai spesies dan hospesnya. Biasanya untuk W.bancrofti sediaan diambil dari darah ketika malam hari, atau lazim dikenal sediaan darah malam. Meski demikian, tak jarang pula orang yang diperkirakan memiliki diagnosis filariasis ternyata tidak ditemukan mikrofilaria satu pun di darah tepinya. Kemungkinan hal ini akibat pengambilan sediaan darah yang kurang tepat atau memang stadium parasit sudah selesai melewati mikrofilaria dan beranjak menjadi cacing dewasa.
               Untuk diagnosis yang praktis dan cepat, sampai saat ini di samping sediaan darah malam ialah menggunakan ELISA dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay. Kedua pemeriksaan praktis ini mampu mendeteksi antigen dari mikrofilaria dan atau cacing dewasa dari darah tepi sehingga memiliki spesifisitas mendekati 100% dan sensitivitas antara 96 hingga 100%. Sayangnya, tes cepat ini hanya tersedia untuk spesies W.bancrofti, sementara belum ada tes yang adekuat untuk mikrofilaria Brugia.
               Jika pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis limfatik, penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan cacing dewasa di tali sperma pria atau di kelenjar mammae wanita. Hampir 80% penderita filariasis limfatik pria mengalami pergerakan cacing dewasa di tali spermanya. Fenomena ini sering dikenal dengan filaria dance sign. Di luar metode di atas, terdapat pula teknik-teknik lain yang lebih spesifik namun biasanya hanya digunakan untuk penelitian, yakni PCR, deteksi serum IgE dan eosinofil, serta penggunaan limfoscintigrafi untuk mendeteksi pelebaran dan liku-liku pembuluh limfe.Ketika episode akut, filariasis limfatik mesti dibedakan dari tromboflebitis, infeksi, serta trauma. Gejala limfangitis yang retrograd merupakan pembeda utama ketimbang limfangitis bakterial yang bersifat ascending. Sedangkan sebaliknya, pada episode kronis dari limfedema filarial mesti dibedakan dari keganasan, luka akibat operasi, trauma, status edema kronis, serta abnormalitas sistem limfe kongenital.
C.     Patofisiologi
            Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III (L3). Nyamuk tersebut mendapatkan mikrofilaria sewaktu menghisap darah penderita atau binatang reservoar yang mengandung mikrofilaria. Siklus penularan filariasis ini melalui dua tahap (Gambar 3.), yaitu mosquito satges atau tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk (vektor) dan human stages atau tahap perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) atau binatang (hospes reservoar).Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung (yang didapatkannya ketika menggigit penderita filariasis), akan melepaskan selubung tubuhnya yang kemudian bergerak menembus perut tengah lalu berpindah tempat menuju otot dada nyamuk. Larva ini disebut larva stadium I (L1). L1 kemudian berkembang hingga menjadi L3 yang membutuhkan waktu 12 – 14 hari. L3 kemudian bergerak menuju probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang mengandung L3 tersebut menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria dalam tubuh orang tersebut. Setelah tertular L3, pada tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, L3 memasuki pembuluh limfe dimana L3 akan tumbuh menjadi cacing dewasa, dan berkembangbiak menghasilkan mikrofilaria baru sehingga bertambah banyak. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Aliran sekresi kelenjar limfe menjadi terhambat dan menumpuk di suatu lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe terutama pada daerah kaki, lengan maupun alat kelamin yang biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri karena kurang terawatnya bagian lipatan-lipatan kulit yang mengalami pembengkakan tersebut.
D.    Manifestasi klinik
tanda-tanda dan gejalanya (symtom) pada orang yang telah terinfeksi penyakit filariasis ini,gejala filariasis akut dapat berupa :
1.      Demam berulang-ulang selama 3-5 hari,demam dapat hilang bila istirahat  dan  muncul kembali setelah bekerja berat.
2.      Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha (lymphadenitis) yang tampak kemerahanKetiak (Lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
3.      Panas dan sakit radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal kaki / pangkal lengan kearah ujung (Retrograde lymphangitis)
4.      Filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah.
5.      Pembesaran tungkai, lengan, buah dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema)
         Filariasis abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah bening  dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah, pembesaran tungkai, lengan, buah dada (Mamae), buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (Early lymphodema).
 Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap (Elephantrasis) pada tungkai, lengan, buah dada (Mamae), buah zakar (Elephantiasis skroti).
Tidak Seperti malaria, dan demam berdarah, filariasis dapat ditularkan oleh berbagi jenis nyamuk diantaranya spesies nyamuk dari genus anopheles, culex, mansonia, aedes dan arnigeres. Karna inilah yang menyebabkan filariasis dapat menular dengan cepat.
Seseorang yang menderita filariasis dapat didiagnosis secara klinis dengan cara sebagai berikut.
1.      Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah pada pemeriksaan sediaan darah tebal. Pengambilan darah dilakukan pada malam hari karena mikrofilaria aktif pada malam hari dan banyak beredar dalam sistem pembuluh darah. Setelah membuat sedian darah maka dilakukan pemeriksaan sedian tersebut. Jika pada sediaan ditemukan mikrofilaria, maka orang tersebut telah terinfeksi cacing filaria.
2.      Pemeriksaan dengan ultrasonografi (USG) pada skrotum.
3.      Umumnya, filariasis akan bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan penderita penyakit ini merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali tidak terdeteksi oleh pranata kesehatan yang berada di lingkungan tersebut. Namun demikian, jika telah parah dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta kelainan pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang endemis W.bancrofti juga sudah banyak orang yang kebal sehingga jika ada satu atau dua orang yang skrotumnya tiba-tiba sudah besar, kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki yang terinfeksi parasit ini. Meski demikian, jika ingin mendeteksi secara dini, dalam fase subklinis penderita filariasis bancrofti akan mengalami hematuria dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok –dideteksi dengan flebografi- , serta limfangiektasis skrotum –dideteksi dengan USG. Namun tentu saja gejala-gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali (kalau bisa dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di pedalaman-pedalaman desa.
4.      ADL ditandai dengan demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis), serta edema lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograd, menyebar secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan meradang. Bisa juga terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur limfe tersebut. Limfadenitis dan limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah dan atas akibat infeksi W.bancrofti dan Brugia.
5.      Namun khas untuk W.bancrofti, biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih dahulu. Lesi di derah genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada skrotum. Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga menyebabkan ruptur limfe di daerah renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi.Pada daerah yang endemis infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan dermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan sindrom yang meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala. Plak edem akibat peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal. Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi. Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar, radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port d’entrée dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena bentuknya yang tidak terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai selulitis.

E.      Cara Penularan
Penyakit ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang yang telah tertular sebelumnya. Darah yang terinfeksi dan mengandung larva dan akan ditularkan ke orang lain pada saat nyamuk yang terinfeksi menggigit dan menghipas darah orang tersebut.
Tidak seperti Malaria dan Demam berdarah, Filariasis dapat ditularkan oleh 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres. Karena inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat.
Penyakit kaki gajah / filariasis ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang yang telah tertular sebelumnya.Darah yang terinfeksi yang mengandung larva dan di tularkan ke orang lain. pada nyamuk yang terinfeksi, kemudian menggigit / menghisap darah orang tersebut.
F.      Pencegahan
Pencegahan terhadap penyakit filariasis / kaki gajah dapat dilakukan dengan jalan :
1.      Berusaha menghindari diri dari gigitan nyamuk
Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi dengan kasa nyamuk, menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk, menggunakan pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian berwarna gelap karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC dan Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah endemis
Membersihkan air pada rawa-rawa yang merupakan tempat  perindukan nyamuk.
3.        Mengeringkan / genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk
4.        Membakar sisa-sisa sampah (berupa kertas dan plastik)
5.        Minimal melakukan penyemprotan sebulan sekali 
Pencegahan penyakit kaki gajah / filasiasis bagi penderita penyakit filariasis diharapkan untuk memeriksakan kedokter agar mendapatkan penanganan obat – obatan sehingga tidak menyebabkan penularan kepada masyarakat lainnya.
Perlu adanya pendidikan dan pencegahan serta pengenalan penyakit kaki gajah / filariasis di wilayah masing – masing  sangatlah penting untuk memutus mata rantai penularan penyakit ini.Membersihkan lingkinggan sekitar adalah hal terpenting untuk mencegah terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah tersebut. 
Upaya Pencegahan Filariasis. Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling efektif tentu saja dengan memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M.
G.    Pengobatan
            Dari dulu sampai sekarang DEC merupakan pilihan obat yang murah dan efektif jika belum bersifat kronis. Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai sekarang harganya pun semakin murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro dan mikrofilarisidal merupakan pilihan yang tepat untuk individu dengan filariasis limfe aktif (mikrofilaremia, antigen positif, atau deteksi USG positif cacing dewasa). Meskipun albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21 hari) juga mampu menunjukan efikasi yang baik.
            Pada kasus yang masih bersifat subklinis (hematuria, proteinuria, serta abnormalitas limfosintigrafi) sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan terapi suportif misalnya dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif, yakni ketika manifestasi cacing dewasa sudah terlihat, barulah DEC menjadi acuan obat utama.
            Pasien dengan limfedema positif pada ekstremitas patut mendapatkan fisioterapi khusus untuk limfedema atau dekongestif. Pasien mesti dididik untuk hidup bersih dan menjaga agar daerah yang membengkak tidak mengalami infeksi sekunder. Sementara itu hidrokel bisa dialirkan secara berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilakukan dengan baik ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa dikurangi hingga menjadi sangat minim.
            Penggunaan DEC selama 12 hari dengan dosis 6 mg/kgBB (total dosis 72 mg) merupakan patokan standar yang telah dilaksanakan di negara-negara dengan filariasis. Sebenarnya dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB selama sehari juga sudah mampu membunuh parasit-parasit yang ada di tubuh. Penggunaan selama 12 hari merupakan sarana supresi mikrofilaremia secara cepat. Namun biasanya penggunanan DEC dosis tunggal dikombinasikan dengan albendazole atau ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang efektif.
            Efek samping dari DEC ialah demam, menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah. Keberhasilan pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar di dalam darah serta sering menimbulkan gejala hipersensitivitas akibat antigen yang dilepaskan dari debris sel-sel parasit yang sudah mati. Reaksi hipersensitivitas juga bisa terjadi akibat inflamasi dari lipoprotein lipolisakarida dari organisme intraseluler Wolbachia, seperti yang disebutkan di atas. Selain DEC, ivermectin juga memiliki efek samping yang serupa dengan gejala ini.
            Yang penting selain pengobatan klinis filariasis ialah edukasi dan promosi pada masyarakat sekitar untuk memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama seperti pemberantasan demam berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dilakukan pemberian DEC profilaksis yang ditambahkan ke dalam garam dapur khusus untuk masyarakat di daerah tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu populer di Indonesia.
            Memang lebih dari 40 tahun untuk pengobatan penyakit kaki gajah baik secara Perorangan maupun secara massal dengan menggunakan DEC (Diethil Carbamazine Citrate). DEC bersifat membunuh mikrofilaria dan makrofilaria (Cacing dewasa). Sampai saat ini DEC merupakan satu – satunya obat penyakit kaki gajah yang efekitf, aman dan relaitf murah.       Pada pengobatan perorangan bertujuan untuk menghanurkan parasit dan mengeleminasi, guna mengurangi atau mencegah rasa sakit. Aturan dosis yang di anjukran untuk 6mg/kg berat badan/hari selama 12 hari diminum seudah makan, dalam sehari 3 kali. Pada pengobatan massal, di gunakan pemberian DEC dosis rendah dengan jangka waktu pemberian yang lebih lama, misalya dalam bentuk garam DEC 0,2%-0,4% selama 9-12 bulan. Untuk orang dewasa digunakan 100mg/minggu selama 40 hari.
            Tujuan utama dalam penganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah membasmi parasit / larva yang berkembang dalam tubuh penderita sehingga tingkat penularan dapat ditekan dan dikurangi.
            Dietilkarbamasin citrate / dietylcarbamazine citrate (DEC) adalah satu – satunya obat filariasis yamg ampuh baik untuk filariasis bancroffi maupun malayi, bersifat makrofilarisidal.
            Obat ini teregolong murah, aman dan tidak ada resistensi obat.Penderita yang mendapatkan teapi obat ini mungkin akan memberikan reaksi samping sisitematik .
            Dietilkarbamasin tidak dapat di pakai untuk khemoprofilaksis.Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah sekitar 3 jam, dan diekresi melalui air kemih.
            Dietilkarbamasin tidak dapat diberikan pada anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil / menyusui, dan penderita sakit berat / dalam keadaan lemah. Namun, pada kasus penyakit kaki gajah / filariasis yang cukup parah (sudah membesar) karna tidak dapat terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan tentunya memerlukan langkah lanjutan seperti tindakan operasi.
            Upaya Pengobatan Filariasis Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah endemis dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC dapat membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini, DEC adalah satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis yang dianjurkan 6 mg/kg berat badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk filariasis akibat Brugia malayi dan Brugia timori, dosis yang dianjurkan 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari. Efek samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, sakit kepala, mual hingga muntah. Pada pengobatan filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi dan Brugia timori, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi pengobatan dilakukan dalam waktu yang lebih lama. Pengobatan kombinasi dapat juga dilakukan dengan dosis tunggal DEC dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun. Pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC. Obat lain yang juga dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit. Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih ringan dibanding DEC. Terapi suportif berupa pemijatan juga dapat dilakukan di samping pemberian DEC dan antibiotika, khususnya pada kasus yang kronis. Pada kasus-kasus tertentu dapat juga dilakukan pembedahan.
            Upaya Rehabilitasi Filariasis Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan dapat sembuh total. Namun, kondisi mereka tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Artinya, beberapa bagian tubuh yang membesar tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Rehabilitasi tubuh yang membesar tersebut dapat dilakukan dengan jalan operasi.
H.    Penyakit kaki gajah di Indonesia
             Indonesia merupakan kebun binatang parasit terbesar di dunia, dengan salah satu koleksi endemisnya; golongan cacing filaria. Dataran pulau Sumatera serta sebagian wilayah Jawa dan Bali menjadi kawasan yang dari tahun ke tahun langganan terinfeksi kaki gajah .Penyakit filarial cukup populer di negeri ini. Cacing filaria merambat di sekeliling jaringan subkutan dan sekujur pembuluh limfe.
            Di antara spesies antropofilik yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia, malayi, Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa. Dari nematoda itu, menurut Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar FKUI/RSCM, Brugia dan Wuchereria merupakan spesies terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat. Selain itu, Mansonella ozzardi, Mansonella perstans, serta Mansonella streptocerca, tidak terlalu populer di Indonesia dan penyakit yang ditimbulkan tidak terlalu parah.
Satu konsep mutakhir yang menjadi target pengobata ialah terdapatnya endosimbion yang terjadi di dalam tubuh filaria. Para pakar Tropical Medicine menemukan terdapat individu semacam rickettsia yang hidup intraseluler pada setiap stadium Wuchereria, Mansonella, dan Onchocerca yang dinamakan Wolbachia. Konon, individu ini berhubungan endosimbiosis sangat erat dengan filaria sehingga dapat dijadikan target kemoterapi antifilarial. Prinsip patologis penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan penebalan pembuluh darah di sekitarnya.Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan lagi. Jelaslah bahwa biang keladi edema pada filariasis ialah cacing dewasa yang merusak pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh. Respon inflamasi ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan proliferatif yang mengakibatkan obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe akan tetap paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi limfe total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah tersebut. Di indonesia, penyakit ini tersebar luas hampir diseluruh propinsi. Berdasakan hasil survei pada tahun 2000 tercatat sebanyak 1553 desa yang tersebar di 231 kabupaten dan 26 propinsi, dengan jumlah kasus kronis 6233 orang. Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kaki gajah agar tidak semakin meluas, maka melalui organisasi WHO menetapkan kesepakatan global yaitu membrantas penyakit kaki gajah sampai tuntas. Di indonesia sendiri pada tahun 2002 sudah dimulai pelaksanaan pemberantasan penyakit kaki gajah secara bertahap di 5 kabupaten percontohan. Program pemberantasan dilaksanakan melalui pengobatan massal dengan DEC (Dietilkarbamasin Citrate) dan Albendasol untuk setahun sekali selama 5 tahun.Bahkan, di 316 kabupaten / kota tercatat masih termasuk daerah endemis filariasis. Ketua komite ahli pengobatan filariasis indonesia (KAPFI) purwantyastuti di jakarta, sabtu (21 / 11), menambahkan, pervalensi mikrofilaira (telur cacing) sebesar 19% dari total penduduk indonesia. Artinya, tedapat kurang lebih 40 juta penduduk indonesia yang tubuhnya mengandung mikrofilaria.
            Mereka yang di tubuhnya mengandung mikrofilaria sejatinya berpotensi menularkan sakit kaki gajah pada orang lain. Alhasil diperkirakan 125 juta penduduk indonesia sangat berisiko tertular filariasis. ”Banyaknya spesies (jenis) nyamuk yang dapat menjadi faktor filariasis menyebabkan filariasis sulit diberantas.”imbuh purwantyastuti.
            Faktor paling krusial lainnya adalah masih renahnya komitmen pemerintah daerah yang tidak memprioritaskan program eliminasi filariasis. Dikatakan, pengobatan massal filariasis harus dilakukan serentak di tiap kabupaten, agar tidak ada lagi daerah endemik yang belum diobati.Disinilah diperlukan kesadaran pemda. Pasalnya, jika masih terdapat daerah endemik, maka upaya pengobatan bakal sia-sia lantaran nyamuk penular kaki gajah bisa terbang batas wilayah.
            Dalam enam tahun terahir, purwantyastuti mengakui, jumlah kabupaten / kota yang endemis kaki gajah / filariasis terus meningkat Pada tahun 2006, tercatat 266 kabupaten / kota endemis filariasis. Pada tahun 2007, ada peningkatan menjadi 304 dan 2008 menjadi 316 kabupaten / kota.
semakin banyaknya kabupaten yang melaporkan adanya penderita kaki gajah / filariasis di wilahnya menyebabkan semakin bertambahnya penderita filariasis di indonesia. Penigkatan jumlah penderita ini dimungkinkan karena makin meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam meneteksi serta sosialisasi filariasis yang semakin meningkat.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam sistem limfe dan ditularkan oleh nyamuk. Bersifat menahun dan menimbulkan cacat menetap. Gejala klinis berupa demam berulang 3-5 hari, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran tungkai, buah dada, dan skrotum. Dapat didiagnosis dengan cara deteksi parasit dan pemeriksaan USG pada skrotum.
2.      Mekanisme penularan yaitu ketika nyamuk yang mengandung larva infektif menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria. Tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, larva memasuki sistem limfe dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe, tungkai, dan alat kelamin.
3.      Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk dan melakukan 3M. Pengobatan menggunakan DEC dikombinasikan dengan Albendazol dan Ivermektin selain dilakukan pemijatan dan pembedahan. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan operasi.
B.     Saran
Diharapkan pemerintah dan masyarakat lebih serius menangani kasus filariasis karena penyakit ini dapat membuat penderitanya mengalami cacat fisik sehingga akan menjadi beban keluarga, masyarakat dan Negara. Dengan penanganan kasus filariasis ini pula, diharapkan Indonesia mampu mewujudkan program Indonesia Sehat Tahun 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar