Kata pengantar
بِسْـــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan kemudahan bagi kami sebagai
penyusun untuk dapat menyelesaikan tugas ini . Makalah ini merupakan tugas yang
berjudul “Filariasis “ yang mana dengan tugas ini kami kelompok 2 dapat
mengetahui lebih jauh tentang filariasis,yakni pengertian filarisis,proses
terjadinya penyakit,penyebab terjadinya penyakit,cara penularan,pencegahan,dan
pengobatan penyakit filariasis. Mengenai lebih lanjut kami akan memaparkan
dalam bagian pembahasan makalah ini.
Dengan harapan makalah ini dapat
bermanfaat,maka kami sebagai penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua
anggota kelompok yang telah membantu meyelesaikan makalah ini.
Baranti,
18 April 2015
Kelompok 2
Daftar
isi
Kata
pengantar..........................................................................................................i
Daftar
isi...................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN.......................................................................................1
A.latar
belakang.......................................................................................................1
B.Rumusan
masalah.................................................................................................2
C.Tujuan...................................................................................................................2
BAB II
PEMBAHASAN........................................................................................4
A.Definisi.................................................................................................................4
B.Etiologi.................................................................................................................6
C.Patofisiologi........................................................................................................10
D.Manifestasi
klinik...............................................................................................15
E.Cara
penularan....................................................................................................15
F.Pencegahan.........................................................................................................15
G.pengobatan.........................................................................................................16
H.Penyakit
kaki gajah di
Indonesia........................................................................21
BAB III
PENUTUP...............................................................................................25
A.Kesimpulan.........................................................................................................25
B.Saran...................................................................................................................25
Daftar
pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Filariasis
(penyakit kaki gajah) atau juga dikenal dengan elephantiasis adalah penyakit
menular dan menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang ditularkan
melalui gigitan berbagai spesies nyamuk. Di Indonesia, vektor penular
filariasis hingga saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus
Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres.Filariasis dapat menimbulkan
cacat menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin. Filariasis
merupakan jenis penyakit reemerging desease, yaitu penyakit yang dulunya sempat
ada, kemudian tidak ada dan sekarang muncul kembali. Kasus penderita filariasis
khas ditemukan di wilayah dengan iklim sub tropis dan tropis (Abercrombie et
al, 1997) seperti di Indonesia. Filariasis pertama kali ditemukan di Indonesia
pada tahun 1877, setelah itu tidak muncul dan sekarang muncul kembali.
Filariasis tersebar luas hampir di seluruh Propinsi di Indonesia. Berdasarkan
laporan dari hasil survei pada tahun 2000 yang lalu tercatat sebanyak 1553 desa
di 647 Puskesmas tersebar di 231 Kabupaten 26 Propinsi sebagai lokasi yang
endemis, dengan jumlah kasus kronis 6233orang.Untuk memberantas filariasis
sampai tuntas, WHO sudah menetapkan Kesepakatan Global (The Global Goal of
Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health problem by The Year
2020) yaitu program pengeliminasian filariasis secara masal. Program ini
dilaksanakan melalui pengobatan masal dengan DEC dan Albendazol setahun sekali
selama 5 tahun dilokasi yang endemis dan perawatan kasus klinis untuk mencegah
kecacatan. WHO sendiri telah menyatakan filariasis sebagai urutan kedua
penyebab cacat permanen di dunia. Di Indonesia sendiri, telah melaksanakan
eliminasi filariasis secara bertahap dimulai pada tahun 2002 di 5 Kabupaten
percontohan. Perluasan wilayah akan dilaksanakan setiap tahunnya. Upaya
pemberantasan filariasis tidak bisa dilakukan oleh pemerintah semata.
Masyarakat juga harus ikut memberantas penyakit ini secara aktif. Dengan
mengetahui mekanisme penyebaran filariasis dan upaya pencegahan, pengobatan
serta rehabilitasinya, diharapkan program Indonesia Sehat Tahun 2010 dapat
terwujud salah satunya adalah terbebas dari endemi filariasis.
B. Rumusan
masalah
Dari latar
belakang di atas, dapat ditarik suatu rumusan masalah antara lain sebagai
berikut.
1. Apa
pengertian filariasis ?
2. Apa
penyebab penyakit filariasis ?
3. Bagaimana
proses terjadinya filariasis ?
4. Apa
tanda dan gejala orang yang mengalami filariasis ?
5. Bagaimana
cara penularan penyakit filariasis ?
6. Bagaimana
cara pencegahan penyakit filariasis ?
7. Bagaimana
cara pengobatan penyakit filariasis
C. Tujuan
Adapun
tujuan penyusunan makalah ini adalah mengacu pada rumusan masalah di atas
sebagai berikut.
1.
Untuk mengetahui pengertian
Filariasis
2.
Untuk mengetahui penyebab penyakit
filariasis
3.
Untuk mengetahui proses terjadinya
filariasis
4.
Untuk mengetahui tanda dan gejala
filariasis
5.
Untuk mengetahui cara penularan
filariasis
6.
Untuk mengetahui cara pencegahan
filariasis
7.
Untuk mengetahui cara pengobatan
filariasis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Penyakit kaki gajah / filariasis
adalah penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filarial yang ditularkan
melalui berbagai jenis nyamuk.Penyakit ini bersifat menahun (kronis) dan bila
tidak mendapatkan pengobatan akan mengakibatkan cacat menetap berupa pembesaran
kaki,alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.
Penyakit kaki gajah ini umumnya
terdeteksi melalui pemeriksaan mikrokopis darah.Sampai saat ini hal tesebut
masih ini dirasakan karna microfilaria hanya muncul dan menampilkan diri
didalam darah pada waktu malam hari selama beberapa jam saja (nocturnal
periodicity).
Selain itu berbagai metode
pemeriksaan juga dilakukan untuk mendiagnosa penyakit kaki gajah
diantaranya ialah dengan yang dikenal sebagai penjaringan membrane, metode
konsentrasi knott dan teknik pengendapan.Metode pemeriksaan yang lebih
mendekati kearah diagnosa dan diakui oleh pihak WHO adalah dengan jalan
pemeriksaan sistem “Tes kartu”, hal ini sangatlah sederhana dan peka untuk
mendeteksi penyebaran parasit (Larva),yaitu dengn cara mengambil sample darah
dengan system tusukan jari droplets diwaktu kapanpun, tidak harus di malam
hari.
Di
Indonesia, vektor penular filariasis hingga saat ini telah diketahui ada 23
spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes dan Armigeres.
Cacing filaria berasal dari kelas Secernentea, filum Nematoda. Tiga spesies
filaria yang menimbulkan infeksi pada manusia adalah Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori (Elmer R. Noble & Glenn A. Noble,
1989). Parasit filaria ditularkan melalui gigitan berbagai spesies nyamuk,
memiliki stadium larva, dan siklus hidup yang kompleks. Anak dari cacing dewasa
disebut mikrofilaria.
A
B
C
Mikrofilaria Wuchereria bancrofti
(A), Brugia malayi (B), dan Brugia timori
(C).
Filariasis dapat menimbulkan cacat
menetap berupa pembesaran kaki, tangan, dan organ kelamin. Hospes cacing
filaria ini dapat berupa hewan dan atau manusia. Manusia yang mengandung
parasit dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain. Pada umumnya laki-laki
lebih dmudah terinfeksi, karena memiliki lebih banyak kesempatan mendapat
infeksi (exposure). Hospes reservoar adalah hewan yang dapat menjadi hospes
bagi cacing filaria, misalnya Brugia malayi yang dapat hidup pada
kucing,kera,kuda,dan,sapi.
Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ditularkan oleh Culex quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat perindukannya.
Banyak spesies nyamuk yang ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing filarianya dan habitat nyamuk itu sendiri. Wuchereria bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ditularkan oleh Culex quinquefasciatus, menggunakan air kotor dan tercemar sebagai tempat perindukannya.
B. Etiologi
Dalam musim hujan biasanya nyamuk
dapat berkembang biak dengan sangat cepat. Banyak sekali penyakit yang dapat
ditularkan oleh hewan kecil yang satu ini. Salah satunya penyakit kaki gajah
(filariasis). Penyakit disebabkan oleh cacing (wuchereria Bancrofi). Cacing ini
dapat ditularkan melalui berbagai gigitan nyamuk kecuali nyamuk mansoni.
Penyakit ini bersifat menahun (Kronis) dan
apabila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa
pembengkakan kaki, lengan dan alat kelamin baik pada pria maupun wanita.
Akibatnya, penderita penyakit kaki gajah tidak dapat bekerja secara optimal,
bahkan hidupnya harus selalu tergantung pada orang lain.
1.
Siklus Hidup Cacing Filaria
Siklus
hidup cacing filaria dapat terjadi dalam tubuh nyamuk apabila nyamuk tersebut
menggit dan menghisap darah orang yang terserang filariasis, sehingga mikro
filaria yang terdapat ditubuh penderita ikut terhisap kedalam tubuh
nyamuk. Mikrofilaria tersebut masuk kedalam tubuh nyamuk, kemudian menembus
dinding lambung dan bersarang diantara otot – otot dada (Toraksi).
Bentuk
mikrofilaria menyerupai sosis yang disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang
lebih satu minggu larva ini berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan
panjang yang yang disebut larva stadiun II. Pada hari kesepuluh dan seterusnya
larva berganti kulit untuk kedua kalinya, sehingga menjadi lebih panjang dan
kurus, ini adalah larva stadium III. Gerak larva stadium III ini sangat aktif,
sehingga larva mulai bermigrasi mula – mula ke rongga perut (Abdomen) kemudian
pindah ke kepala dan alat tusuk nyamuk.
Apabila
nyamuk mikrofilaria ini menggigit manuisa maka mikrofilaria yang sudah
berbentuk larva infektif (Larva stadium III) secara aktif ikut masuk kedalam
tubuh manusia (Hospes),bersama – sama dengan aliran darah dalam tubuh
manusia.Larva keluar dari pembuluh darah dan masuk ke pembuluh limfe.
Didalam pembuluh limfe larva mengalamidua kali pergantian kulit dan tumbuh
menjadi dewasa yang sering disebut larva stadium IV dan larva stadium V.
Cacing filaria yang sudah dewasa bertempat di pembuluh limfe, sehingga akan
menyumbat pembuluh limfe dan akan terjadi pembengkakan. Cacing filaria sendiri
memiliki ciri sebagai berikut :
Cacing dewasa (makrofilaria) berbentuk seperti benang
berwarna putih kekuningan. Sedangkan larva cacing filaria (kirofilaria
berbentuk seperti benang berwarna putih susu..
Makrofilaria yang betina memiliki panjang kurang lebih
65-100mm dan ekornya lurus berujung tumpul. Untuk makro filaria yang jantan
memiliki panjang kurang lebih 40mm dan ekor melingkar.Sedangkan mikrofilaria
memilki panjang kurang labih 250 mikron, bersarung pucat. Tempat hidup
makrofilaria jantan dan betina di saluran limfe. Tetapi pada malam hari
mikrofilaria terdapat didalam darah tepi sedangkan pada siang hari mikrofilaria
terdapat di kapiler alat- alat dalam seperti paru- paru, jantung, dan hati.
2.
Diagnosis
Praktis Gold Standard untuk sebagian
besar penyakit akibat infeksi parasit ialah menemukan parasit tersebut baik
dalam keadaan hidup ataupun mati. Dalam kasus filariasis, parasit berupa cacing
dewasa hampir tidak mungkin ditemukan secara utuh karena terletak di dalam
pembuluh limfe yang dalam dan berkelok-kelok. Karenanya diagnosis filariasis
ditegakkan dengan penemuan mikrofilaria di darah tepi.
Selain di darah tepi, mikrofilaria
dapat pula ditemukan di cairan hidrokel, atau kadang-kadang di cairan tubuh
lainnya. Cairan ini dapat diperiksa secara mikroskopis secara langsung atau
disaring dulu konsentrasi parasit sudah mampu melewati filter pori silindris
polikarbonat (ukuran pori sekitar 3 µm). Bisa juga cairan disentrifugasi dengan
2% formalin (teknik Knott) baru kemudian dapat dideteksi parasit mikrofilaria secara
spesifik dan sensitif.
Yang tak boleh lupa ketika mengamati
parasit ini, sediaan mesti diambil menurut perkiraan periodisitas sesuai
spesies dan hospesnya. Biasanya untuk W.bancrofti sediaan diambil dari darah
ketika malam hari, atau lazim dikenal sediaan darah malam. Meski demikian, tak
jarang pula orang yang diperkirakan memiliki diagnosis filariasis ternyata
tidak ditemukan mikrofilaria satu pun di darah tepinya. Kemungkinan hal ini
akibat pengambilan sediaan darah yang kurang tepat atau memang stadium parasit
sudah selesai melewati mikrofilaria dan beranjak menjadi cacing dewasa.
Untuk diagnosis yang praktis dan
cepat, sampai saat ini di samping sediaan darah malam ialah menggunakan ELISA
dan rapid test dengan teknik imunokromatografik assay. Kedua pemeriksaan
praktis ini mampu mendeteksi antigen dari mikrofilaria dan atau cacing dewasa
dari darah tepi sehingga memiliki spesifisitas mendekati 100% dan sensitivitas
antara 96 hingga 100%. Sayangnya, tes cepat ini hanya tersedia untuk spesies
W.bancrofti, sementara belum ada tes yang adekuat untuk mikrofilaria Brugia.
Jika
pasien sudah terdeteksi diduga kuat telah mengalami filariasis limfatik,
penggunaan USG Doppler diperlukan untuk mendeteksi pergerakan cacing dewasa di
tali sperma pria atau di kelenjar mammae wanita. Hampir 80% penderita
filariasis limfatik pria mengalami pergerakan cacing dewasa di tali spermanya.
Fenomena ini sering dikenal dengan filaria dance sign. Di luar metode di atas,
terdapat pula teknik-teknik lain yang lebih spesifik namun biasanya hanya
digunakan untuk penelitian, yakni PCR, deteksi serum IgE dan eosinofil, serta
penggunaan limfoscintigrafi untuk mendeteksi pelebaran dan liku-liku pembuluh
limfe.Ketika episode akut, filariasis limfatik mesti dibedakan dari
tromboflebitis, infeksi, serta trauma. Gejala limfangitis yang retrograd
merupakan pembeda utama ketimbang limfangitis bakterial yang bersifat
ascending. Sedangkan sebaliknya, pada episode kronis dari limfedema filarial
mesti dibedakan dari keganasan, luka akibat operasi, trauma, status edema kronis,
serta abnormalitas sistem limfe kongenital.
C. Patofisiologi
Seseorang dapat tertular atau
terinfeksi filariasis apabila orang tersebut digigit nyamuk yang infektif yaitu
nyamuk yang mengandung larva stadium III (L3). Nyamuk tersebut mendapatkan
mikrofilaria sewaktu menghisap darah penderita atau binatang reservoar yang
mengandung mikrofilaria. Siklus penularan filariasis ini melalui dua tahap
(Gambar 3.), yaitu mosquito satges atau tahap perkembangan dalam tubuh nyamuk
(vektor) dan human stages atau tahap perkembangan dalam tubuh manusia (hospes)
atau binatang (hospes reservoar).Di dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria
berselubung (yang didapatkannya ketika menggigit penderita filariasis), akan
melepaskan selubung tubuhnya yang kemudian bergerak menembus perut tengah lalu
berpindah tempat menuju otot dada nyamuk. Larva ini disebut larva stadium I
(L1). L1 kemudian berkembang hingga menjadi L3 yang membutuhkan waktu 12 – 14
hari. L3 kemudian bergerak menuju probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang
mengandung L3 tersebut menggigit manusia, maka terjadi infeksi mikrofilaria
dalam tubuh orang tersebut. Setelah tertular L3, pada tahap selanjutnya di
dalam tubuh manusia, L3 memasuki pembuluh limfe dimana L3 akan tumbuh menjadi
cacing dewasa, dan berkembangbiak menghasilkan mikrofilaria baru sehingga
bertambah banyak. Kumpulan cacing filaria dewasa ini menjadi penyebab
penyumbatan pembuluh limfe. Aliran sekresi kelenjar limfe menjadi terhambat dan
menumpuk di suatu lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan kelenjar limfe terutama
pada daerah kaki, lengan maupun alat kelamin yang biasanya disertai infeksi
sekunder dengan fungi dan bakteri karena kurang terawatnya bagian
lipatan-lipatan kulit yang mengalami pembengkakan tersebut.
D. Manifestasi
klinik
tanda-tanda
dan gejalanya (symtom) pada orang yang telah terinfeksi penyakit filariasis
ini,gejala filariasis akut dapat berupa :
1.
Demam berulang-ulang selama 3-5
hari,demam dapat hilang bila istirahat dan muncul kembali setelah
bekerja berat.
2.
Pembengkakan kelenjar getah bening
(tanpa ada luka) didaerah lipatan paha (lymphadenitis) yang tampak
kemerahanKetiak (Lymphadenitis) yang tampak kemerahan, panas dan sakit
3.
Panas dan sakit radang saluran
kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit yang menjalar dari pangkal
kaki / pangkal lengan kearah ujung (Retrograde lymphangitis)
4.
Filarial abses akibat seringnya
menderita pembengkakan kelenjar getah bening, dapat pecah dan mengeluarkan
nanah serta darah.
5.
Pembesaran tungkai, lengan, buah
dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early
lymphodema)
Filariasis abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah
bening dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah, pembesaran
tungkai, lengan, buah dada (Mamae), buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan
terasa panas (Early lymphodema).
Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran
yang menetap (Elephantrasis) pada tungkai, lengan, buah dada (Mamae), buah
zakar (Elephantiasis skroti).
Tidak
Seperti malaria, dan demam berdarah, filariasis dapat ditularkan oleh berbagi
jenis nyamuk diantaranya spesies nyamuk dari genus anopheles, culex, mansonia,
aedes dan arnigeres. Karna inilah yang menyebabkan filariasis dapat menular
dengan cepat.
Seseorang
yang menderita filariasis dapat didiagnosis secara klinis dengan cara sebagai
berikut.
1.
Deteksi parasit yaitu menemukan
mikrofilaria di dalam darah pada pemeriksaan sediaan darah tebal. Pengambilan
darah dilakukan pada malam hari karena mikrofilaria aktif pada malam hari dan
banyak beredar dalam sistem pembuluh darah. Setelah membuat sedian darah maka
dilakukan pemeriksaan sedian tersebut. Jika pada sediaan ditemukan
mikrofilaria, maka orang tersebut telah terinfeksi cacing filaria.
2.
Pemeriksaan dengan ultrasonografi
(USG) pada skrotum.
3.
Umumnya, filariasis akan
bersifat mikrofilaremia subklinis. Apalagi kebanyakan penderita penyakit ini
merupakan masyarakat pedesaan hingga sama sekali tidak terdeteksi oleh pranata
kesehatan yang berada di lingkungan tersebut. Namun demikian, jika telah parah
dan kronis dapat menimbulkan hidrokel, acute adenolymphangytis (ADL), serta
kelainan pembuluh limfe yang kronis. Di daerah-daerah yang endemis W.bancrofti
juga sudah banyak orang yang kebal sehingga jika ada satu atau dua orang yang
skrotumnya tiba-tiba sudah besar, kemungkinan sudah banyak sekali laki-laki
yang terinfeksi parasit ini. Meski demikian, jika ingin mendeteksi secara dini,
dalam fase subklinis penderita filariasis bancrofti akan mengalami hematuria
dan atau proteinuria mikroskopik, pembuluh limfe yang melebar dan berkelok-kelok
–dideteksi dengan flebografi- , serta limfangiektasis skrotum –dideteksi dengan
USG. Namun tentu saja gejala-gejala yang disebutkan terakhir jarang sekali
(kalau bisa dibilang tidak pernah) terdeteksi karena terjadi di
pedalaman-pedalaman desa.
4.
ADL ditandai dengan
demam tinggi, peradangan limfe (limfangitis dan limfadenitis), serta edema
lokal yang bersifat sementara. Limfangitis ini bersifat retrograd, menyebar
secara perifer dari KGB menuju arah sentral. Sepanjang perjalanan ini, KGB
regional akan ikut membesar atau sekedar memerah dan meradang. Bisa juga
terjadi tromboflebitis di sepanjang jalur limfe tersebut. Limfadenitis dan
limfangitis dapat terjadi pada KGB ekstremitas bawah dan atas akibat infeksi
W.bancrofti dan Brugia.
5.
Namun khas untuk W.bancrofti,
biasanya akan terjadi lesi di daerah genital terlebih dahulu. Lesi di derah
genital ini meliputi funikulitis, epididimitis, dan rasa sakit pada skrotum.
Nantinya lesi ini juga bisa menjadi limfedema hingga menjadi elefantiasis
skrotalis yang sangat khas akibat infeksi W.bancrofti. Lebih jauh, edema ini
juga bisa mendesak rongga peritoneal hingga menyebabkan ruptur limfe di daerah
renal dan menyebabkan chiluria, terutama waktu pagi.Pada daerah yang endemis
infeksi filaria, terdapat tipe onset penyakit akut yang dinamakan
dermatolymphangioadenitis (DLA). Agak sedikit berbeda dengan ADL, DLA merupakan
sindrom yang meliputi demam tinggi, menggigil, myalgia, serta sakit kepala.
Plak edem akibat peradangan membentuk demarkasi yang jelas dari kulit yang normal.
Pada sindrom ini juga terdapat vesikel, ulkus, serta hiperpigmentasi.
Kadang-kadang dapat ditemui riwayat trauma, gigitan serangga, terbakar,
radiasi, lesi akibat pungsi, serta kecelakaan akibat bahan kimia. Biasanya port
d’entrée dari filaria tersebut terletak di daerah interdigital. Karena
bentuknya yang tidak terlalu khas, sindrom ini sering juga didiagnosis sebagai
selulitis.
E. Cara Penularan
Penyakit ini
ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah seseorang yang telah tertular
sebelumnya. Darah yang terinfeksi dan mengandung larva dan akan ditularkan ke
orang lain pada saat nyamuk yang terinfeksi menggigit dan menghipas darah orang
tersebut.
Tidak
seperti Malaria dan Demam berdarah, Filariasis dapat ditularkan oleh 23
spesies nyamuk dari genus Anopheles, Culex, Mansonia, Aedes & Armigeres.
Karena inilah, Filariasis dapat menular dengan sangat cepat.
Penyakit
kaki gajah / filariasis ini ditularkan melalui nyamuk yang menghisap darah
seseorang yang telah tertular sebelumnya.Darah yang terinfeksi yang mengandung
larva dan di tularkan ke orang lain. pada nyamuk yang terinfeksi, kemudian
menggigit / menghisap darah orang tersebut.
F. Pencegahan
Pencegahan
terhadap penyakit filariasis / kaki gajah dapat dilakukan dengan jalan :
1.
Berusaha menghindari diri dari
gigitan nyamuk
Pencegahan filariasis dapat dilakukan dengan
menghindari gigitan nyamuk (mengurangi kontak dengan vektor) misalnya
menggunakan kelambu sewaktu tidur, menutup ventilasi dengan kasa nyamuk,
menggunakan obat nyamuk, mengoleskan kulit dengan obat anti nyamuk, menggunakan
pakaian panjang yang menutupi kulit, tidak memakai pakaian berwarna gelap
karena dapat menarik nyamuk, dan memberikan obat anti-filariasis (DEC dan
Albendazol) secara berkala pada kelompok beresiko tinggi terutama di daerah
endemis
Membersihkan
air pada rawa-rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk.
3.
Mengeringkan / genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk
4.
Membakar sisa-sisa sampah (berupa kertas dan plastik)
5.
Minimal melakukan penyemprotan sebulan sekali
Pencegahan
penyakit kaki gajah / filasiasis bagi penderita penyakit filariasis diharapkan
untuk memeriksakan kedokter agar mendapatkan penanganan obat – obatan sehingga
tidak menyebabkan penularan kepada masyarakat lainnya.
Perlu adanya
pendidikan dan pencegahan serta pengenalan penyakit kaki gajah / filariasis di
wilayah masing – masing sangatlah penting untuk memutus mata rantai
penularan penyakit ini.Membersihkan lingkinggan sekitar adalah hal terpenting
untuk mencegah terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah tersebut.
Upaya Pencegahan Filariasis. Dari semua cara diatas, pencegahan yang paling
efektif tentu saja dengan memberantas nyamuk itu sendiri dengan cara 3M.
G. Pengobatan
Dari dulu sampai sekarang DEC
merupakan pilihan obat yang murah dan efektif jika belum bersifat kronis.
Selain DEC, terdapat pula Ivermectin yang sampai sekarang harganya pun semakin
murah. Diethilcarbamazyne (DEC, 6 mg/kgBB/hari untuk 12 hari) bersifat makro
dan mikrofilarisidal merupakan pilihan yang tepat untuk individu dengan
filariasis limfe aktif (mikrofilaremia, antigen positif, atau deteksi USG
positif cacing dewasa). Meskipun albendazole (400 mg dua kali sehari selama 21
hari) juga mampu menunjukan efikasi yang baik.
Pada kasus yang masih bersifat
subklinis (hematuria, proteinuria, serta abnormalitas limfosintigrafi)
sebaiknya diberikan antibiotik profilaksis dengan terapi suportif misalnya
dengan antipiretik dan analgesik. Sedangkan jika sudah mikrofilaremia negatif,
yakni ketika manifestasi cacing dewasa sudah terlihat, barulah DEC menjadi
acuan obat utama.
Pasien dengan limfedema positif pada
ekstremitas patut mendapatkan fisioterapi khusus untuk limfedema atau
dekongestif. Pasien mesti dididik untuk hidup bersih dan menjaga agar daerah
yang membengkak tidak mengalami infeksi sekunder. Sementara itu hidrokel bisa
dialirkan secara berulang atau dengan insisi pembedahan. Jika dilakukan dengan
baik ditambah DEC yang teratur, sebenarnya gejala pembengkakan ini bisa
dikurangi hingga menjadi sangat minim.
Penggunaan DEC selama 12 hari dengan
dosis 6 mg/kgBB (total dosis 72 mg) merupakan patokan standar yang telah
dilaksanakan di negara-negara dengan filariasis. Sebenarnya dengan dosis
tunggal 6 mg/kgBB selama sehari juga sudah mampu membunuh parasit-parasit yang
ada di tubuh. Penggunaan selama 12 hari merupakan sarana supresi mikrofilaremia
secara cepat. Namun biasanya penggunanan DEC dosis tunggal dikombinasikan
dengan albendazole atau ivermectin dengan hasil mikrofilarisidal yang efektif.
Efek samping dari DEC ialah demam,
menggigil, artralgia, sakit kepala, mual, hingga muntah. Keberhasilan
pengobatan ini sangat tergantung dari jumlah parasit yang beredar di dalam
darah serta sering menimbulkan gejala hipersensitivitas akibat antigen yang
dilepaskan dari debris sel-sel parasit yang sudah mati. Reaksi
hipersensitivitas juga bisa terjadi akibat inflamasi dari lipoprotein
lipolisakarida dari organisme intraseluler Wolbachia, seperti yang disebutkan
di atas. Selain DEC, ivermectin juga memiliki efek samping yang serupa dengan
gejala ini.
Yang penting selain pengobatan
klinis filariasis ialah edukasi dan promosi pada masyarakat sekitar untuk
memberantas nyamuk dengan gerakan 3M, sama seperti pemberantasan demam
berdarah. Selain itu, di beberapa tempat perlu juga dilakukan pemberian DEC profilaksis
yang ditambahkan ke dalam garam dapur khusus untuk masyarakat di daerah
tersebut. Namun yang belakangan tidak terlalu populer di Indonesia.
Memang lebih dari 40 tahun untuk
pengobatan penyakit kaki gajah baik secara Perorangan maupun secara massal
dengan menggunakan DEC (Diethil Carbamazine Citrate). DEC bersifat membunuh
mikrofilaria dan makrofilaria (Cacing dewasa). Sampai saat ini DEC merupakan
satu – satunya obat penyakit kaki gajah yang efekitf, aman dan relaitf murah. Pada pengobatan perorangan bertujuan untuk
menghanurkan parasit dan mengeleminasi, guna mengurangi atau mencegah rasa
sakit. Aturan dosis yang di anjukran untuk 6mg/kg berat badan/hari selama 12
hari diminum seudah makan, dalam sehari 3 kali. Pada pengobatan massal, di
gunakan pemberian DEC dosis rendah dengan jangka waktu pemberian yang lebih
lama, misalya dalam bentuk garam DEC 0,2%-0,4% selama 9-12 bulan. Untuk orang
dewasa digunakan 100mg/minggu selama 40 hari.
Tujuan utama dalam penganan dini
terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah membasmi parasit / larva yang
berkembang dalam tubuh penderita sehingga tingkat penularan dapat ditekan dan
dikurangi.
Dietilkarbamasin citrate /
dietylcarbamazine citrate (DEC) adalah satu – satunya obat filariasis yamg
ampuh baik untuk filariasis bancroffi maupun malayi, bersifat makrofilarisidal.
Obat ini teregolong murah, aman dan
tidak ada resistensi obat.Penderita yang mendapatkan teapi obat ini mungkin
akan memberikan reaksi samping sisitematik .
Dietilkarbamasin tidak dapat di pakai
untuk khemoprofilaksis.Pengobatan diberikan oral sesudah makan malam, diserap
cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah sekitar 3 jam, dan diekresi
melalui air kemih.
Dietilkarbamasin tidak dapat
diberikan pada anak berumur kurang dari 2 tahun, ibu hamil / menyusui, dan
penderita sakit berat / dalam keadaan lemah. Namun, pada kasus penyakit kaki
gajah / filariasis yang cukup parah (sudah membesar) karna tidak dapat
terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan tentunya memerlukan langkah
lanjutan seperti tindakan operasi.
Upaya Pengobatan Filariasis
Pengobatan filariasis harus dilakukan secara masal dan pada daerah endemis
dengan menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC). DEC dapat membunuh
mikrofilaria dan cacing dewasa pada pengobatan jangka panjang. Hingga saat ini,
DEC adalah satu-satunya obat yang efektif, aman, dan relatif murah. Untuk
filariasis akibat Wuchereria bankrofti, dosis yang dianjurkan 6 mg/kg berat
badan/hari selama 12 hari. Sedangkan untuk filariasis akibat Brugia malayi dan
Brugia timori, dosis yang dianjurkan 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari.
Efek samping dari DEC ini adalah demam, menggigil, sakit kepala, mual hingga
muntah. Pada pengobatan filariasis yang disebabkan oleh Brugia malayi dan
Brugia timori, efek samping yang ditimbulkan lebih berat. Sehingga, untuk
pengobatannya dianjurkan dalam dosis rendah, tetapi pengobatan dilakukan dalam
waktu yang lebih lama. Pengobatan kombinasi dapat juga dilakukan dengan dosis
tunggal DEC dan Albendazol 400mg, diberikan setiap tahun selama 5 tahun.
Pengobatan kombinasi meningkatkan efek filarisida DEC. Obat lain yang juga
dipakai adalah ivermektin. Ivermektin adalah antibiotik semisintetik dari
golongan makrolid yang mempunyai aktivitas luas terhadap nematoda dan ektoparasit.
Obat ini hanya membunuh mikrofilaria. Efek samping yang ditimbulkan lebih
ringan dibanding DEC. Terapi suportif berupa pemijatan juga dapat dilakukan di
samping pemberian DEC dan antibiotika, khususnya pada kasus yang kronis. Pada
kasus-kasus tertentu dapat juga dilakukan pembedahan.
Upaya Rehabilitasi Filariasis
Penderita filariasis yang telah menjalani pengobatan dapat sembuh total. Namun,
kondisi mereka tidak bisa pulih seperti sebelumnya. Artinya, beberapa bagian
tubuh yang membesar tidak bisa kembali normal seperti sedia kala. Rehabilitasi
tubuh yang membesar tersebut dapat dilakukan dengan jalan operasi.
H. Penyakit
kaki gajah di Indonesia
Indonesia
merupakan kebun binatang parasit terbesar di dunia, dengan salah satu koleksi
endemisnya; golongan cacing filaria. Dataran pulau Sumatera serta sebagian
wilayah Jawa dan Bali menjadi kawasan yang dari tahun ke tahun langganan
terinfeksi kaki gajah .Penyakit filarial cukup populer di negeri ini. Cacing
filaria merambat di sekeliling jaringan subkutan dan sekujur pembuluh limfe.
Di antara spesies
antropofilik yang paling ganas ialah Wuchereria bancrofti, Brugia, malayi,
Brugia timori, Onchocerca volvulus, dan Loa loa. Dari nematoda itu, menurut
Prof.Dr.Herdiman Pohan, Sp.PD, KPTI dari Guru besar FKUI/RSCM, Brugia dan
Wuchereria merupakan spesies terbanyak yang ditemukan di Indonesia, sementara
Onchocerca dan Loa loa tidak terdapat. Selain itu, Mansonella ozzardi,
Mansonella perstans, serta Mansonella streptocerca, tidak terlalu populer di
Indonesia dan penyakit yang ditimbulkan tidak terlalu parah.
Satu konsep mutakhir yang menjadi target pengobata ialah terdapatnya
endosimbion yang terjadi di dalam tubuh filaria. Para pakar Tropical Medicine
menemukan terdapat individu semacam rickettsia yang hidup intraseluler pada
setiap stadium Wuchereria, Mansonella, dan Onchocerca yang dinamakan Wolbachia.
Konon, individu ini berhubungan endosimbiosis sangat erat dengan filaria
sehingga dapat dijadikan target kemoterapi antifilarial. Prinsip patologis
penyakit filariasis bermula dari inflamasi saluran limfe akibat dilalui cacing
filaria dewasa (bukan mikrofilaria). Cacing dewasa yang tak tahu diri ini
melalui saluran limfe aferen atau sinus-sinus limfe sehingga menyebabkan
dilatasi limfe pada tempat-tempat yang dilaluinya. Dilatasi ini mengakibatkan
banyaknya cairan plasma yang terisi dari pembuluh darah yang menyebabkan
penebalan pembuluh darah di sekitarnya.Akibat kerusakan pembuluh, akan terjadi
infiltrasi sel-sel plasma, esosinofil, serta makrofag di dalam dan sekitar pembuluh
darah yang terinfeksi. Nah, infiltrasi inilah yang menyebabkan terjadi
proliferasi jaringan ikat dan menyebabkan pembuluh limfe di sekelilingnya
menjadi berkelok-kelok serta menyebabkan rusaknya katup-katup di sepanjang
pembuluh limfe tersebut. Akibatnya, limfedema dan perubahan statis-kronis
dengan edema pada kulit di atas pembuluh tersebut menjadi tak terhindarkan
lagi. Jelaslah
bahwa biang keladi edema pada filariasis ialah cacing dewasa yang merusak
pembuluh limfe serta mekanisme inflamasi dari tubuh penderita yang
mengakibatkan proliferasi jaringan ikat di sekitar pembuluh. Respon inflamasi
ini juga diduga sebagai penyebab granuloma dan proliferatif yang mengakibatkan
obstruksi limfe secara total. Ketika cacing masih hidup, pembuluh limfe akan tetap
paten, namun ketika cacing sudah mati akan terjadi reaksi yang memicu timbulnya
granuloma dan fibrosis sekitar limfe. Kemudian akan terjadi obstruksi limfe
total karena karakteristik pembuluh limfe bukanlah membentuk kolateral (seperti
pembuluh darah), namun akan terjadi malfungsi drainase limfe di daerah
tersebut. Di indonesia, penyakit ini tersebar luas hampir diseluruh propinsi.
Berdasakan hasil survei pada tahun 2000 tercatat sebanyak 1553 desa yang
tersebar di 231 kabupaten dan 26 propinsi, dengan jumlah kasus kronis 6233
orang. Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kaki gajah agar tidak semakin
meluas, maka melalui organisasi WHO menetapkan kesepakatan global yaitu
membrantas penyakit kaki gajah sampai tuntas. Di indonesia sendiri pada tahun 2002
sudah dimulai pelaksanaan pemberantasan penyakit kaki gajah secara bertahap di
5 kabupaten percontohan. Program pemberantasan dilaksanakan melalui pengobatan
massal dengan DEC (Dietilkarbamasin Citrate) dan Albendasol untuk setahun
sekali selama 5 tahun.Bahkan, di 316 kabupaten / kota tercatat masih termasuk
daerah endemis filariasis. Ketua komite
ahli pengobatan filariasis indonesia (KAPFI) purwantyastuti di jakarta, sabtu
(21 / 11), menambahkan, pervalensi mikrofilaira (telur cacing) sebesar 19% dari
total penduduk indonesia. Artinya, tedapat kurang lebih 40 juta penduduk
indonesia yang tubuhnya mengandung mikrofilaria.
Mereka yang di tubuhnya mengandung
mikrofilaria sejatinya berpotensi menularkan sakit kaki gajah pada orang lain.
Alhasil diperkirakan 125 juta penduduk indonesia sangat berisiko tertular
filariasis. ”Banyaknya spesies (jenis) nyamuk yang dapat menjadi faktor
filariasis menyebabkan filariasis sulit diberantas.”imbuh purwantyastuti.
Faktor paling krusial lainnya adalah
masih renahnya komitmen pemerintah daerah yang tidak memprioritaskan program
eliminasi filariasis. Dikatakan, pengobatan massal filariasis harus dilakukan
serentak di tiap kabupaten, agar tidak ada lagi daerah endemik yang belum
diobati.Disinilah diperlukan kesadaran pemda. Pasalnya, jika masih terdapat
daerah endemik, maka upaya pengobatan bakal sia-sia lantaran nyamuk penular
kaki gajah bisa terbang batas wilayah.
Dalam enam tahun terahir,
purwantyastuti mengakui, jumlah kabupaten / kota yang endemis kaki gajah /
filariasis terus meningkat Pada tahun 2006, tercatat 266 kabupaten / kota
endemis filariasis. Pada tahun 2007, ada peningkatan menjadi 304 dan 2008
menjadi 316 kabupaten / kota.
semakin banyaknya kabupaten yang
melaporkan adanya penderita kaki gajah / filariasis di wilahnya menyebabkan
semakin bertambahnya penderita filariasis di indonesia. Penigkatan jumlah
penderita ini dimungkinkan karena makin meningkatnya pengetahuan dan
ketrampilan petugas dalam meneteksi serta sosialisasi filariasis yang semakin
meningkat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Filariasis adalah penyakit yang
disebabkan oleh cacing filaria yang hidup dalam sistem limfe dan ditularkan
oleh nyamuk. Bersifat menahun dan menimbulkan cacat menetap. Gejala klinis
berupa demam berulang 3-5 hari, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran
tungkai, buah dada, dan skrotum. Dapat didiagnosis dengan cara deteksi parasit
dan pemeriksaan USG pada skrotum.
2.
Mekanisme penularan yaitu ketika
nyamuk yang mengandung larva infektif menggigit manusia, maka terjadi infeksi
mikrofilaria. Tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, larva memasuki sistem
limfe dan tumbuh menjadi cacing dewasa. Kumpulan cacing filaria dewasa ini
menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Akibatnya terjadi pembengkakan
kelenjar limfe, tungkai, dan alat kelamin.
3.
Pencegahan filariasis dapat
dilakukan dengan menghindari gigitan nyamuk dan melakukan 3M. Pengobatan
menggunakan DEC dikombinasikan dengan Albendazol dan Ivermektin selain
dilakukan pemijatan dan pembedahan. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan
operasi.
B.
Saran
Diharapkan pemerintah dan masyarakat
lebih serius menangani kasus filariasis karena penyakit ini dapat membuat
penderitanya mengalami cacat fisik sehingga akan menjadi beban keluarga,
masyarakat dan Negara. Dengan penanganan kasus filariasis ini pula, diharapkan
Indonesia mampu mewujudkan program Indonesia Sehat Tahun 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar